Selasa, 22 Agustus 2017

Mahasiswa Langit (Episode 1)


Oleh: Rendy Setiawan
...Usaha dan doa adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan. Hasilnya akan sangat luar biasa.


SORE itu tanah Cileungsi dan sekitarnya baru saja selesai diserang oleh ribuan tentara hujan. Satu-dua peluru air masih menembaki siapa saja yang melintasi komplek Pesantren Al-Furqon. Tetesan air berjatuhan dari dedaunan pohon yang tertiup angin. Awan hitam pekat yang siang tadi menutupi langit kini mulai menghilang. Air menggenang di beberapa titik ruas jalan sekitar Masjid Al-Furqon.



“Ran, kita jadi satu kelompok KKN nih!”

Irul setengah berlari dari Kampus STAI Al-Furqon hanya untuk memberitahu soal perubahan pembagian kelompok KKN.


Saat itu, Randy lagi berdiri di parkiran mobil tepat berada di utara masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampus STAI. Randy sudah tau pembagian itu. Lagi pula, tak ada nama “Irul” untuk bagian kelompok Randy.



“Kemaren udah liat kok,” jawab Randy, meninggalkannya pergi.

Irul dengan wajah tanpa ekspresi membalas ucapan Randy. “Kelompok KKN nya ada sedikit perubahan.”


Randy cukup terkejut dan menghentikan gerak langkah kakinya. Berubah lagi. Randy memang belum menyusun rencana bersama kelompok lamaku. Tapi tak seharusnya kelompok KKN yang sudah terbentuk itu dirubah. Lagipula hari pemberangkatan sudah sangat mendekati. Mungkin dia hanya bercanda. Tapi rasa penasaran mulai menyelimuti pikiran Randy. Apa benar yang dikatakan Irul? Randy mendekati Irul untuk memastikan informasi itu.



“Kamu tau dari mana?”

“Di papan pengumuman kampus udah ditempel kok,” jawab Irul datar sambil menggacungkan jari telunjuk ke arah kampus, meyakinkan.
“Benarkah?” Randy menoleh ke arah kampus yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari tempat berdiri saat ini. Ia ingin liat perubahan itu.


Mereka berdua diam beberapa saat.



Lima menit berlalu dalam suasana keheningan. Irul malah sibuk dengan androidnya. Randy pergi menyusuri jalan utama yang letaknya di antara masjid dan asrama santri Pondok Pesantren Al-Furqon. Pandangan mata Randy yang tajam tertuju pada sebuah papan berbentuk persegi panjang yang terpampang di dinding sebelah utara kampus yang letaknya persis di depan masjid. 



Tiba-tiba, Irul memanggil Randy. “Mau kemana, Ran?”



Randy tetap berjalan tak menjawab pertanyaan Irul. Beberapa mahasiswa terlihat sedang berkumpul di depan papan itu untuk mencari informasi tentang KKN. Rasa penasaran Randy semakin memuncak. Ingin rasanya melihat sendiri perubahan pembagian kelompok KKN itu.



Tak mau ketinggalan informasi dari mahasiswa yang lain, langkah kaki Randy semakin cepat ke kampus. Tepat di depan papan pengumuman, Randy mencari-cari informasi perubahan pembagian kelompok KKN dan tempat tugasnya.



Gue kira ada perubahan total seperti biasanya. Ternyata cuma perubahan Yulison dan Irul aja,” Randy berbicara dalam hati.

“Tuh kan kita satu kelompok. Gue, lo, Amru, Anisa, dan Wa Aulia. Kita di Sukabumi. Lo ketuanya,” Irul menepuk bahu Randy. Entah sejak kapan Irul ada di sana.


Randy berbalik, menoleh ke arah lelaki bertubuh mungil itu.



“Besok sore kelompok kita yang baru ini kumpul di kelas. Harus datang semua. KKN di bulan Ramadan ini harus dijadikan momentum perbaikan dan perubahan. Abis Ashar kita musyawarah,” Randy mendekatkan kepalanya di samping telinga Irul.

“Nanti gue kabari yang lain,” Irul membalas dengan tenang, meyakinkan.


Randy tersenyum.

“Jangan lupa. Sekarang persiapkan idemu. Biar besok tak menghabiskan waktu untuk memikirkan ide.”


Irul mengangguk.

Terdengar suara motor dari arah sebelah utara masjid, Amru menggunakan sebuah motor merk Honda GL Pro datang menghampiri kedua rekannya. Sedikit pamer kebolehannya, Amru menambah kecepatan laju motornya lalu rem mendadak. Berhenti tepat di samping Irul berdiri. Lantas bertanya penuh keheranan.


“Ada apa ini? Kok tumben lo berdua pada ngumpul di sini,” seru Amru.

Nggak apa-apa. Sedikit bahas soal kelompok yang baru,” Randy menjawab tenang, menoleh.
“Kelompok baru apa?” Amru nanya, penasaran.
“KKN,” Randy memperlihatkan informasi di papan pengumuman.
“Apa lo bilang! Kelompok KKN! Dirubah lagi? Rektor ini sukanya bikin pening mahasiswa. Terlalu idealis keputusan-keputusannya itu,” Amru cukup terkejut dan kesal mendengar jawaban Randy.
“Iya. Tapi nggak dirubah total. Hanya perubahan Irul dan Yulison. Irul pindah ke kelompok kita. Sementara Yulison pindah ke tim Solo,” Randy mencoba menenangkan dengan menepuk pundaknya.
“Tetap saja!! Harus dijelasin alasannya,” Amru kini benar-benar terlihat emosi, nada mulai meninggi.
“Slow. Gue yang jadi ketua aja santai,” Randy masih mencoba menenangkan Amru.
“Lagi pula, Am,” Irul di sebelah Randy akhirnya ikut bicarasetelah sejak tadi asyik menonton mereka berdua berdebat, “kalau lo emang gak setuju dengan keputusan rektor, kenapa gak lo coba aja ngobrol sama rektor dengan baik? Lo jelas bisa melakukannya, kan?”
“Yaudah, lo aja yang temui rektor minta penjelasan,” wajah Amru masih terlihat kesal namun kali ini dia mengalah.
“Itu pasti. Doain semoga sukses,” Randy cukup semangat.
“Apa yang akan lo bilang kepada rektor nanti, Ran?” Irul menoleh ke arah Randy.
Randy menggeleng. “Tidak tahu.”
“Bagaimana nanti kalau pertemuan dengan rektor justru membuat kegaduhan?” Irul ngeluh.
“Kita hanya minta penjelasan. Gak perlu cemas soal itu. Kita bisa atasi kalau kita tetap sama-sama.”
Lo urus persiapan peralatan sama perlengkapan kita aja,” Amru menunjuk Irul.
“Nanti kita bahas lagi pas musyawarah. Gue persiapin dulu untuk bahan ketemu rektor nanti.”
“Ok. Cari informasi sedetail mungkin, Ran.”
“Iya emang harus gitu, Am. Kalau nggak gitu, gimana mau melangkah ke depan coba.”
Gue suka gaya lo.”
“Jangan suka plagiat gaya orang. Nggak baik, lho.”
“Suka gaya orang lain bukan berarti plagiat kan?”
“Boleh aja kalau plagiat, asal...”
“Asal apa?”
“Asal ada amplopnya.”
“Ah yang di kepala lo cuma amplop doang,” Amru tertawa cukup lebar hingga beberapa giginya terlihat. “Eh, percaya nggak? Cuma gara-gara plagiat, kita bisa dihukum masyarakat.”
“Gue sih nggak percaya.”
Randy nampak santai.
“Kenapa?”
“Udah lah gak usah ngomongin plagiat. Hidup ini terlalu indah untuk mencopy kehidupan orang lain. Jadilah diri sendiri. Terkadang kita memang suka merendah dengan keadaan kita di hadapan orang lain. Tapi itu bukan alasan untuk melakukan plagiarisme. Kita harus percaya dengan diri kita. Kita ditakdirkan hidup sebagai pemenang bukan pecundang. Itulah kenapa kita ada saat ini sekarang...”
“Betul, Ran. Dan orang yang gak percaya dengan dirinya sendiri, maka dia nggak bisa jadi orang sukses. Gue yakin itu,” Amru nimpalin.
Irul yang dari tadi cuma bengong, nampak ingin mengeluarkan sepatah dua patah kata.
“Kalau mau ngomong, udah ngomong aja. Jangan kaya orang bisu gitu. Pakai isyarat segala,” Amru menatap tajam ke arah Irul.
“Iya. Maksud gue, gue cuma mau ngingetin aja. Keasyikan bahas plagiarisme tapi lupa ketemu rektor. Inget, setiap bentuk kesuksesan itu terselip usaha dan persiapan yang matang. Setiap usaha dan persiapan yang matang itu perlu waktu, nggak tiba-tiba muncul.”
“Sekarang rada cerdas apa ya si Irul,” Amru terkekeh.
“Owh iya. Gara-gara ngomongin plagiarisme, gue jadi lupa apa yang mau diomongin sama rektor.”
“Nah loh...”


Sebelum malam tiba, Randy memang sudah berniat bertemu perwakilan kampus untuk mengambil surat tugas KKN dan memastikan kembali informasi perubahan pembagian kelompok.



Padahal sebentar lagi sudah hari H. Kenapa dirubah lagi?” bisik Randy dalam hati mempertanyakan keputusan itu tanpa mengerti alasannya.



Di antara mereka bertiga, Amru adalah sosok yang paling paham karakter rektor maupun Pak Rudini. Randy memang tak begitu paham sosok rektor seperti Amru, tapi Randy seperti biasanya nampak yakin setiap keputusan yang diambil rektor adalah untuk kebaikan mahasiswanya. Sepertinya tidak untuk kali ini. Randy tidak begitu yakin dengan keputusannya.



“Sebetulnya kebijakan rektor itu bagus. Tapi terkadang selalu maksa kehendak. Ini yang kurang disenangi mahasiswa,” Randy berbicara pelan.

“Iya idealis banget orangnya,” Amru memperjelas maksud Randy.
“Ngomong-ngomong...” Belum selesai Randy bicara, Amru sudah memotong pembicaraan.
“Eh... Gue duluan ya!”
“Baru mau ngomong. Udah main kabur aja lo demit...”
“Ada urusan penting.”


Amru berlalu pergi menggunakan motor kesayangannya.



Lo nanti temenin gue ketemu rektor,” Randy berteriak.

“Ogah... sama Anisa aja.”
“Harus lo yang nemenin. Kan lo yang paling ngerti tentang rektor.”


Randy dan Irul tertawa. Amru tak menggubris, ia semakin jauh meninggalkan kedua rekannya itu yang tengah santai duduk di bangku panjang depan kampus.



Setelah Amru pergi, Randy dan Irul kembali membahas sedikit persoalankhususnya tentang keputusan rektor yang sering berubah. Padahal, tak jarang setiap Randy bertemu rektor menanyakan ihwal keputusan sebelum-sebelumnya.

***
Beberapa waktu lalu, tepatnya lima hari menjelang keberangkatan, Randy sempat membicarakan banyak hal dengan rektor terkait kejelasan program KKN selama Ramadan di Maktab Aam[1]. Saat itu, rektor banyak mengisahkan perjalanan hidupnya. Khususnya yang menyangkut persoalan mahasiswa.

Rektor bilang, suatu pekerjaan akan jauh lebih mudah diamalkan jika dibarengi niat yang ikhlas karena Allah meskipun tanpa modal. Randy awalnya tak paham maksud rektor, tapi ia memutuskan tak banyak tanya. Meski begitu, nasehat rektor terus membanyangi pikiran Randy.


Malam ini, tepat dua hari sebelum berangkat, Randy dan Anisa menemui rektor di tempat yang sama seperti sebelumnya untuk meminta penjelasan soal keputusannya merubah ulang kelompok KKN. Selain itu, banyak pula hal-hal yang ingin sekalian ditanyakan langsung ke rektor. Seperti kejelasan persiapan tempat di mana mahasiswa akan ditugaskan. Solo, Garut, dan Sukabumi.



“Kenapa kelompok dirubah lagi, ustadz?” Randy membuka percakapan.



Rektor hanya tersenyum.

“Loh, kayak gitu kok ditanyain. Mahasiswa itu harus mampu survive ditempatkan di mana saja dan dengan siapa saja. Bukan malah menanyakan kenapa dipasangkan dengan si anu. Niatkan saja karena Allah. Randy ingat waktu ngobrol sama ustadz belum lama ini? Itu seharusnya jadi bahan renungan. Ustadz dulu sewaktu menjadi mahasiswa, zaman belum semaju sekarang. Tapi ustadz mampu melewati itu. Kuncinya yakin sama Allah,” rektor memulai penjelasannya.


Sejenak rektor mengambil hp, memperlihatkan foto-foto perkebunan kacang tanah hasil usahanya merintis bersama masyarakat di Puncak Bogor.

“Iya memang betul ustadz. Tapi kan tetap kita harus tau penjelasan ustadz soal perubahan itu. Biar kita bisa memetakan persiapan kita,” Randy memperjelas maksud kedatangannya.
“Kalian nggak yakin sama Allah?” rektor mengangguk pelan.
“Yakin ustadz.”
“Yaudah kalo yakin. Serahkan saja semua pada Allah. Nanti Allah yang menentukan dan mempersiapkan jalan untuk kita. Siapkan niat karena Allah saja untuk pergi KKN. Adanya program hanya membatasi mahasiswa bergerak nantinya. Justru ustadz sedang memberikan kemudahan untuk kalian berkreasi. Mahasiswa jangan terlalu idealis,” sekali lagi, rektor mengangguk, memberi nasehat.
“Masa KKN nggak ada program, ustadz?” Anisa mempertanyakan pandangan rektor.
“Kan tadi ustadz udah bilang, program hanya mengekang kegiatan kalian. Nggak ada program bukan berarti nggak ada kegiatan,” rektor kembali menjelaskan.


Randy yang sedari tadi duduk di depan rektor, diam membisu. Lagi-lagi mendapat nasehat yang sama seperti sebelumnya. Tidak berubah. Mungkin ada sedikit tambahan dari nasehatnya.



Nasehat dari rektor terus saja mengusik pikiran Anisa. Bagaimana mungkin melakukan kegiatan tanpa program? Niat karena Allah itu pasti. Tapi seharusnya tetap ada persiapan untuk itu. Mungkin rektor punya pandangan lain, atau keputusan lain.

Anisa mengerutu.


Akhirnya, Randy pamit hendak pulang ke rumah kontrakan dengan masih menyimpan sejuta pertanyaan yang Randy sendiri malas untuk mengungkapkan ke rektor. Paling-paling nanti yang keluar bukan jawaban yang diterima. Randy dan Anisa pulang ke rumah sekitar jam sebelas malam. Mereka berdua harus segera tidur, persiapan KKN belum selesai.



[1] Sebuah bangunan sederhana yang dijadikan sebagai pusat dakwah Al-Jamaah. Letaknya hanya beberapa meter saja sebelah utara Masjid Al-Furqon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar