...Usaha dan doa adalah satu kesatuan yang
tak boleh dipisahkan. Hasilnya akan sangat luar biasa.
SORE itu tanah Cileungsi dan sekitarnya baru
saja selesai diserang oleh ribuan tentara hujan. Satu-dua peluru air masih
menembaki siapa saja yang melintasi komplek Pesantren Al-Furqon. Tetesan air
berjatuhan dari dedaunan pohon yang tertiup angin. Awan hitam pekat yang siang
tadi menutupi langit kini mulai menghilang. Air menggenang di beberapa titik ruas
jalan sekitar Masjid Al-Furqon.
“Ran, kita jadi satu kelompok KKN nih!”
Irul setengah berlari dari Kampus STAI Al-Furqon
hanya untuk memberitahu soal perubahan pembagian kelompok KKN.
Saat itu, Randy lagi berdiri di parkiran
mobil tepat berada di utara masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampus
STAI. Randy sudah tau pembagian itu. Lagi pula, tak ada nama “Irul” untuk
bagian kelompok Randy.
“Kemaren udah liat kok,” jawab Randy,
meninggalkannya pergi.
Irul dengan wajah tanpa ekspresi membalas
ucapan Randy. “Kelompok KKN nya ada sedikit perubahan.”
Randy cukup terkejut dan menghentikan gerak
langkah kakinya. Berubah lagi. Randy memang belum menyusun rencana bersama
kelompok lamaku. Tapi tak seharusnya kelompok KKN yang sudah terbentuk itu
dirubah. Lagipula hari pemberangkatan sudah sangat mendekati. Mungkin dia hanya
bercanda. Tapi rasa penasaran mulai menyelimuti pikiran Randy. Apa benar yang
dikatakan Irul? Randy mendekati Irul untuk memastikan informasi itu.
“Kamu tau dari mana?”
“Di papan pengumuman kampus udah ditempel kok,”
jawab Irul datar sambil menggacungkan jari telunjuk ke arah kampus, meyakinkan.
“Benarkah?” Randy menoleh ke arah kampus yang
hanya berjarak sekitar 30 meter dari tempat berdiri saat ini. Ia ingin liat
perubahan itu.
Mereka berdua diam beberapa saat.
Lima menit berlalu dalam suasana keheningan. Irul
malah sibuk dengan androidnya. Randy pergi menyusuri jalan utama yang letaknya
di antara masjid dan asrama santri Pondok Pesantren Al-Furqon. Pandangan mata
Randy yang tajam tertuju pada sebuah papan berbentuk persegi panjang yang
terpampang di dinding sebelah utara kampus yang letaknya persis di depan
masjid.
Tiba-tiba, Irul memanggil Randy. “Mau kemana,
Ran?”
Randy tetap berjalan tak menjawab pertanyaan Irul.
Beberapa mahasiswa terlihat sedang berkumpul di depan papan itu untuk mencari
informasi tentang KKN. Rasa penasaran Randy semakin memuncak. Ingin rasanya melihat
sendiri perubahan pembagian kelompok KKN itu.
Tak mau ketinggalan informasi dari mahasiswa
yang lain, langkah kaki Randy semakin cepat ke kampus. Tepat di depan papan
pengumuman, Randy mencari-cari informasi perubahan pembagian kelompok KKN dan
tempat tugasnya.
“Gue kira ada perubahan total seperti
biasanya. Ternyata cuma perubahan Yulison dan Irul aja,” Randy berbicara dalam
hati.
“Tuh kan kita satu kelompok. Gue, lo,
Amru, Anisa, dan Wa Aulia. Kita di Sukabumi. Lo ketuanya,” Irul menepuk bahu Randy. Entah sejak kapan Irul ada
di sana.
Randy berbalik, menoleh ke arah lelaki
bertubuh mungil itu.
“Besok sore kelompok kita yang baru ini
kumpul di kelas. Harus datang semua. KKN di bulan Ramadan ini harus dijadikan
momentum perbaikan dan perubahan. Abis Ashar kita musyawarah,” Randy
mendekatkan kepalanya di samping telinga Irul.
“Nanti gue
kabari yang lain,” Irul membalas dengan tenang, meyakinkan.
Randy tersenyum.
“Jangan lupa. Sekarang persiapkan idemu. Biar
besok tak menghabiskan waktu untuk memikirkan ide.”
Irul mengangguk.
Terdengar suara motor dari arah sebelah utara
masjid, Amru menggunakan sebuah motor merk Honda GL Pro datang menghampiri kedua
rekannya. Sedikit pamer kebolehannya, Amru menambah kecepatan laju motornya
lalu rem mendadak. Berhenti tepat di samping Irul berdiri. Lantas bertanya penuh
keheranan.
“Ada apa ini? Kok tumben lo berdua pada ngumpul di sini,” seru Amru.
“Nggak
apa-apa. Sedikit bahas soal kelompok yang baru,” Randy menjawab tenang,
menoleh.
“Kelompok baru apa?” Amru nanya, penasaran.
“KKN,” Randy memperlihatkan informasi di
papan pengumuman.
“Apa lo
bilang! Kelompok KKN! Dirubah lagi? Rektor ini sukanya bikin pening mahasiswa.
Terlalu idealis keputusan-keputusannya itu,” Amru cukup terkejut dan kesal
mendengar jawaban Randy.
“Iya. Tapi nggak dirubah total. Hanya perubahan Irul dan Yulison. Irul pindah
ke kelompok kita. Sementara Yulison pindah ke tim Solo,” Randy mencoba
menenangkan dengan menepuk pundaknya.
“Tetap saja!! Harus dijelasin alasannya,” Amru
kini benar-benar terlihat emosi, nada mulai meninggi.
“Slow. Gue
yang jadi ketua aja santai,” Randy masih mencoba menenangkan Amru.
“Lagi pula, Am,” Irul di sebelah Randy
akhirnya ikut bicara—setelah sejak tadi asyik menonton mereka berdua
berdebat, “kalau lo emang gak setuju
dengan keputusan rektor, kenapa gak lo
coba aja ngobrol sama rektor dengan baik? Lo
jelas bisa melakukannya, kan?”
“Yaudah, lo
aja yang temui rektor minta penjelasan,” wajah Amru masih terlihat kesal namun
kali ini dia mengalah.
“Itu pasti. Doain semoga sukses,” Randy cukup
semangat.
“Apa yang akan lo bilang kepada rektor nanti, Ran?” Irul menoleh ke arah Randy.
Randy menggeleng. “Tidak tahu.”
“Bagaimana nanti kalau pertemuan dengan rektor
justru membuat kegaduhan?” Irul ngeluh.
“Kita hanya minta penjelasan. Gak perlu cemas
soal itu. Kita bisa atasi kalau kita tetap sama-sama.”
“Lo
urus persiapan peralatan sama perlengkapan kita aja,” Amru menunjuk Irul.
“Nanti kita bahas lagi pas musyawarah. Gue persiapin dulu untuk bahan ketemu rektor
nanti.”
“Ok. Cari informasi sedetail mungkin, Ran.”
“Iya emang harus gitu, Am. Kalau nggak gitu, gimana mau melangkah ke
depan coba.”
“Gue
suka gaya lo.”
“Jangan suka plagiat gaya orang. Nggak baik, lho.”
“Suka gaya orang lain bukan berarti plagiat
kan?”
“Boleh aja kalau plagiat, asal...”
“Asal apa?”
“Asal ada amplopnya.”
“Ah yang di kepala lo cuma amplop doang,” Amru tertawa cukup lebar hingga beberapa
giginya terlihat. “Eh, percaya nggak?
Cuma gara-gara plagiat, kita bisa dihukum masyarakat.”
“Gue sih nggak
percaya.”
Randy nampak santai.
“Kenapa?”
“Udah lah gak usah ngomongin plagiat. Hidup
ini terlalu indah untuk mencopy kehidupan orang lain. Jadilah diri sendiri.
Terkadang kita memang suka merendah dengan keadaan kita di hadapan orang lain.
Tapi itu bukan alasan untuk melakukan plagiarisme. Kita harus percaya dengan
diri kita. Kita ditakdirkan hidup sebagai pemenang bukan pecundang. Itulah
kenapa kita ada saat ini sekarang...”
“Betul, Ran. Dan orang yang gak percaya
dengan dirinya sendiri, maka dia nggak
bisa jadi orang sukses. Gue yakin itu,”
Amru nimpalin.
Irul yang dari tadi cuma bengong, nampak
ingin mengeluarkan sepatah dua patah kata.
“Kalau mau ngomong, udah ngomong aja. Jangan
kaya orang bisu gitu. Pakai isyarat segala,” Amru menatap tajam ke arah Irul.
“Iya. Maksud gue, gue cuma mau
ngingetin aja. Keasyikan bahas plagiarisme tapi lupa ketemu rektor. Inget, setiap
bentuk kesuksesan itu terselip usaha dan persiapan yang matang. Setiap usaha
dan persiapan yang matang itu perlu waktu, nggak
tiba-tiba muncul.”
“Sekarang rada cerdas apa ya si Irul,” Amru
terkekeh.
“Owh iya. Gara-gara ngomongin plagiarisme, gue jadi lupa apa yang mau diomongin
sama rektor.”
“Nah loh...”
Sebelum malam tiba, Randy memang sudah berniat
bertemu perwakilan kampus untuk mengambil surat tugas KKN dan memastikan
kembali informasi perubahan pembagian kelompok.
“Padahal
sebentar lagi sudah hari H. Kenapa dirubah lagi?” bisik Randy dalam hati mempertanyakan
keputusan itu tanpa mengerti alasannya.
Di antara mereka bertiga, Amru adalah sosok
yang paling paham karakter rektor maupun Pak Rudini. Randy memang tak begitu
paham sosok rektor seperti Amru, tapi Randy seperti biasanya nampak yakin setiap
keputusan yang diambil rektor adalah untuk kebaikan mahasiswanya. Sepertinya
tidak untuk kali ini. Randy tidak begitu yakin dengan keputusannya.
“Sebetulnya kebijakan rektor itu bagus. Tapi
terkadang selalu maksa kehendak. Ini yang kurang disenangi mahasiswa,” Randy
berbicara pelan.
“Iya idealis banget orangnya,” Amru
memperjelas maksud Randy.
“Ngomong-ngomong...” Belum selesai Randy
bicara, Amru sudah memotong pembicaraan.
“Eh... Gue
duluan ya!”
“Baru mau ngomong. Udah main kabur aja lo demit...”
“Ada urusan penting.”
Amru berlalu pergi menggunakan motor
kesayangannya.
“Lo
nanti temenin gue ketemu rektor,”
Randy berteriak.
“Ogah... sama Anisa aja.”
“Harus lo
yang nemenin. Kan lo yang paling
ngerti tentang rektor.”
Randy dan Irul tertawa. Amru tak menggubris,
ia semakin jauh meninggalkan kedua rekannya itu yang tengah santai duduk di
bangku panjang depan kampus.
Setelah Amru pergi, Randy dan Irul kembali membahas
sedikit persoalan—khususnya tentang keputusan rektor yang sering berubah.
Padahal, tak jarang setiap Randy bertemu rektor menanyakan ihwal keputusan
sebelum-sebelumnya.
***
Rektor bilang, suatu pekerjaan akan jauh
lebih mudah diamalkan jika dibarengi niat yang ikhlas karena Allah meskipun
tanpa modal. Randy awalnya tak paham maksud rektor, tapi ia memutuskan tak
banyak tanya. Meski begitu, nasehat rektor terus membanyangi pikiran Randy.
Malam ini, tepat dua hari sebelum berangkat, Randy
dan Anisa menemui rektor di tempat yang sama seperti sebelumnya untuk meminta
penjelasan soal keputusannya merubah ulang kelompok KKN. Selain itu, banyak
pula hal-hal yang ingin sekalian ditanyakan langsung ke rektor. Seperti
kejelasan persiapan tempat di mana mahasiswa akan ditugaskan. Solo, Garut, dan
Sukabumi.
“Kenapa kelompok dirubah lagi, ustadz?” Randy
membuka percakapan.
Rektor hanya tersenyum.
“Loh, kayak gitu kok ditanyain. Mahasiswa itu
harus mampu survive ditempatkan di mana saja dan dengan siapa saja.
Bukan malah menanyakan kenapa dipasangkan dengan si anu. Niatkan saja karena
Allah. Randy ingat waktu ngobrol sama ustadz belum lama ini? Itu seharusnya
jadi bahan renungan. Ustadz dulu sewaktu menjadi mahasiswa, zaman belum semaju
sekarang. Tapi ustadz mampu melewati itu. Kuncinya yakin sama Allah,” rektor
memulai penjelasannya.
Sejenak rektor mengambil hp, memperlihatkan
foto-foto perkebunan kacang tanah hasil usahanya merintis bersama masyarakat di
Puncak Bogor.
“Iya memang betul ustadz. Tapi kan tetap kita
harus tau penjelasan ustadz soal perubahan itu. Biar kita bisa memetakan
persiapan kita,” Randy memperjelas maksud kedatangannya.
“Kalian nggak
yakin sama Allah?” rektor mengangguk pelan.
“Yakin ustadz.”
“Yaudah kalo yakin. Serahkan saja semua pada
Allah. Nanti Allah yang menentukan dan mempersiapkan jalan untuk kita. Siapkan
niat karena Allah saja untuk pergi KKN. Adanya program hanya membatasi mahasiswa
bergerak nantinya. Justru ustadz sedang memberikan kemudahan untuk kalian
berkreasi. Mahasiswa jangan terlalu idealis,” sekali lagi, rektor mengangguk,
memberi nasehat.
“Masa KKN nggak
ada program, ustadz?” Anisa mempertanyakan pandangan rektor.
“Kan tadi ustadz udah bilang, program hanya
mengekang kegiatan kalian. Nggak ada
program bukan berarti nggak ada
kegiatan,” rektor kembali menjelaskan.
Randy yang sedari tadi duduk di depan rektor,
diam membisu. Lagi-lagi mendapat nasehat yang sama seperti sebelumnya. Tidak
berubah. Mungkin ada sedikit tambahan dari nasehatnya.
Nasehat dari rektor terus saja mengusik
pikiran Anisa. Bagaimana mungkin melakukan kegiatan tanpa program? Niat karena
Allah itu pasti. Tapi seharusnya tetap ada persiapan untuk itu. Mungkin rektor
punya pandangan lain, atau keputusan lain.
Anisa mengerutu.
Akhirnya, Randy pamit hendak pulang ke rumah
kontrakan dengan masih menyimpan sejuta pertanyaan yang Randy sendiri malas
untuk mengungkapkan ke rektor. Paling-paling nanti yang keluar bukan jawaban
yang diterima. Randy dan Anisa pulang ke rumah sekitar jam sebelas malam. Mereka
berdua harus segera tidur, persiapan KKN belum selesai.
[1]
Sebuah
bangunan sederhana yang dijadikan sebagai pusat dakwah Al-Jamaah. Letaknya
hanya beberapa meter saja sebelah utara Masjid Al-Furqon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar