Sabtu, 22 September 2018

Menyongsong Indonesia Berkemajuan

Oleh: Rendy Setiawan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan perjalanan sejarah yang panjang. Jauh sebelum zaman kolonialisme dan imperialisme, Indonesia yang merupakan negara kepulauan, telah memiliki corak kehidupan yang unik dan terpenting adalah mampu menjadi pemimpin di kawasan.
Hal ini bisa dibuktikan dengan kuatnya pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu, Budha di Indonesia pada awal abad ke-7 masehi hingga abad ke-14 masehi, dilanjutkan dengan pengaruh dari kerajaan-kerajaan Islam di akhir abad ke-13 masehi hingga awal abad ke-17 masehi.
Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, sejumlah kerajaan Islam di Indonesia bahkan berhasil menjalin hubungan kerja sama sistematis dengan Kekhilafahan Turki Utsmani yang dikenal sebagai salah satu kerajaan paling besar dan berpengaruh yang pernah berdiri di kawasan Timur Tengah.
Sejarah hebat tersebut tak lepas dari peran lini pertahanan yang digawangin para tentara dibangun secara kokoh. Tak bisa dipungkiri, selain memiliki tugas utama mempertahankan wilayah, tentara pada saat itu juga memiliki andil dalam menyebarkan pengaruh ideologi, budaya dan adat.
Lambat laun, percikan dari pergolakan besar yang terjadi di Eropa pada masa rennaisance berdampak hingga nusantara. Pertemuan antar dua budaya (Eropa dan Nusantara) ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan istilah masa kolonialisme dan imperialisme.
Kedatangan Bangsa Barat
Masyarakat Indonesia belum siap menerima budaya baru yang datang dari ujung Barat nan jauh. Alhasil, budaya asli Indonesia perlahan tergerus oleh budaya yang datang dari Eropa. Bagi bangsa Eropa, ini merupakan kemenangan awal sebelum menorehkan sejarah lebih panjang lagi di Indonesia.
Sejak kemenangan ini, bangsa Eropa mulai berduyun-duyun berlayar menuju wilayah Indonesia. Di masa-masa awal kedatangan, mereka mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia.
Selama beberapa waktu hidup berdampingan, bangsa Eropa mulai mengusik kehidupan penduduk pribumi. Kejadian ini terus berlangsung hingga 350 tahun lamanya. Masa inilah yang kemudian dikenal dengan masa kolonialisme dan imperialisme atau masa penjajahan di Indonesia.
Hampir mayoritas sejarawan Indonesia menuliskan di buku-buku mereka bahwa salah satu penyebab lamanya Indonesia dijajah bangsa Eropa adalah karena mereka tidak punya rasa persatuan. Perjuangan mereka bersifat parsial atau kedaerahan. Ini tak terlepas dari politik devide at impera atau politik pecah belah yang diterapkan bangsa Eropa.
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk keluar dari penjajahan ini memberikan pelajaran berharga untuk generasi penerus. Bahwa perjuangan tanpa persatuan, perjuangan tanpa kebersamaan, perjuangan tanpa gotong-royong tidak akan membawa keberhasilan apapun.
Arah perjuangan bangsa Indonesia nampak jelas usai adanya kesadaran untuk bersatu, kesadaran untuk berjuang bersama, dan adanya kesadaran memiliki tujuan dan cita-cita yang sama. Hal ini tertuang pada peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Peristiwa-peristiwa ini saling berkaitan hingga Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Para founding father negeri ini sadar bahwa untuk menjaga keutuhan bangsa yang luas ini, maka dibutuhkan sebuah institusi untuk menjaganya.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan, banyak rakyat Indonesia membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri atau badan perjuangan rakyat. Usaha pemerintah Indonesia untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan, sambil bertempur dan berjuang untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.
Terbentuknya TNI
Untuk mempersatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947, Bung Karno yang saat itu bertindak sebagai pucuk pimpinan negeri ini mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi.
Terbentuknya TNI ini menjadi angin segar bagi kalangan rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan karena di awal-awal kemerdekaan Indonesia, bangsa Eropa belum rela melepaskan wilayah yang sebagaian besar berupa perairan ini, mereka terus berusaha ingin menguasai kembali.
Ketangguhan TNI di garda paling depan menjadi benteng kokoh yang mematahkan setiap upaya bangsa Eropa untuk merebut kembali Indonesia. Puncaknya adalah ketika Konferensi Meja Bundar atau dikenal dengan KMB di Den Haag, Belanda, tanggal 2 November 1949 menjadi titik akhir.
Sejarah panjang ini seharusnya menjadi pelecut bagi setiap elemen masyarakat untuk terus bersatu dalam mewujudkan Indonesia berkemajuan, Indonesia yang disegani negara-negara lain, Indonesia yang tidak bisa diremehkan begitu saja, sehingga Indonesia bisa kembali menaungi wilayah-wilayah di sekitarnya.
Mengembalikan kebesaran dan kejayaan Indonesia bukan perkara mudah untuk dilakukan. Tokoh-tokoh republik ini berulang kali mencoba untuk membangun Indonesia yang maju dan gagah perkasa, namun selalu kandas di tengah jalan.
Diawali dari masa Orde Lama (Orla), hampir 20 tahun memimpin negeri ini, banyak menghadirkan tokoh-tokoh nasionalis yang loyal terhadap negerinya, banyak lahir pemikir-pemikir ulung dalam membangun negeri, namun semua sirna bersamaan dengan diberangusnya pemberontakan PKI pada 30 September 1965.
Kemudian di masa Orde Baru (Orba), genap 32 tahun memimpin negeri ini, banyak perubahan yang terjadi, pembangunan bergerak bebas di mana-mana, neraca keuangan menguat, namun akhirnya tumbang diterjang badai krisis ekonomi yang menghantam sebagian wilayah Asia termasuk Indonesia sejak tahun 1996.
Kemudian di masa Reformasi, setelah kejatuhan zaman Orba tahun 1998, masa ini mencoba memperbaiki setiap lubang yang masih lowong di zaman Orba dahulu, termasuk memperbaiki aturan kekebebasan berpendapat di muka umum, namun semua itu belum menghasilkan apa yang menjadi tujuan utama selama ini, yakni Indonesia berkemajuan.
TNI dan Rakyat
Kegagalan demi kegagalan dalam membangun Indonesia berkemajuan bisa jadi diakibatkan tidak adanya rasa saling menjaga antara rakyat dengan rakyat, antara rakyat dengan pemerintah, dan antara rakyat dengan TNI. Hal ini yang kemudian disadari oleh Jenderal TNI (purn) Gatot Nurmantyo betapa pentingnya membangun sinergitas rakyat dengan TNI.
Sang jenderal pun mempopulerkan slogan “Bersama Rakyat TNI Kuat” seolah ingin menggambarkan bahwa TNI tak memiliki taring tanpa adanya dukungan dari rakyat. Pun sebaliknya, rakyat tak akan bisa merasa aman tanpa penjagaan dari TNI. Slogan ini menjadi bukti soheh bahwa rakyat dan TNI ‘pernah’ memiliki hubungan tak harmonis.
Di era yang semakin berkembang, kecanggihan teknologi terus bermunculan, maka sudah seyogyanya rakyat dan TNI saling bergotong-royong, saling bersatu-padu sesuai amanat Pancasila bahwa bangsa ini besar karena elemen di dalamnya bahu-membahu saling berkerja sama.
Gatot Nurmantyo dalam bukunya “Berjuang dan Bergotong-Royong Mewujudkan Indonesia Sebagai Bangsa Pemenang” mengemukakan pendapatnya soal gotong-royong. Menurutnya, semangat gotong-royong adalah kearifan lokal bangsa Indonesia yang ada sejak nenek moyang.
Sang jenderal menambahkan, nilai-nilai kearifan lokal tersebut merupakan sifat asli bangsa Indonesia, namun telah diracun dan dikaburkan oleh kekuatan asing. Budaya kebersamaan luntur oleh budaya pragmatis transaksional. Semangat kebersmaan luntur menjadi sikap individualis dan apatis. Tantangan ini yang kemudian menghambat Indonesia berkemajuan.
Untuk mengembalikan jati diri bangsa, maka perlu dibangun sebuah instrumen di tengah masyarakat bahwa TNI berasal dari rakyat, sementara rakyat adalah main strengh atau kekuatan utama dari TNI seperti yang selama ini sudah digaungkan Gatot Nurmantyo semasa menjadi Panglima TNI.

Selasa, 22 Agustus 2017

Mahasiswa Langit (Episode 1)


Oleh: Rendy Setiawan
...Usaha dan doa adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan. Hasilnya akan sangat luar biasa.


SORE itu tanah Cileungsi dan sekitarnya baru saja selesai diserang oleh ribuan tentara hujan. Satu-dua peluru air masih menembaki siapa saja yang melintasi komplek Pesantren Al-Furqon. Tetesan air berjatuhan dari dedaunan pohon yang tertiup angin. Awan hitam pekat yang siang tadi menutupi langit kini mulai menghilang. Air menggenang di beberapa titik ruas jalan sekitar Masjid Al-Furqon.



“Ran, kita jadi satu kelompok KKN nih!”

Irul setengah berlari dari Kampus STAI Al-Furqon hanya untuk memberitahu soal perubahan pembagian kelompok KKN.


Saat itu, Randy lagi berdiri di parkiran mobil tepat berada di utara masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampus STAI. Randy sudah tau pembagian itu. Lagi pula, tak ada nama “Irul” untuk bagian kelompok Randy.



“Kemaren udah liat kok,” jawab Randy, meninggalkannya pergi.

Irul dengan wajah tanpa ekspresi membalas ucapan Randy. “Kelompok KKN nya ada sedikit perubahan.”


Randy cukup terkejut dan menghentikan gerak langkah kakinya. Berubah lagi. Randy memang belum menyusun rencana bersama kelompok lamaku. Tapi tak seharusnya kelompok KKN yang sudah terbentuk itu dirubah. Lagipula hari pemberangkatan sudah sangat mendekati. Mungkin dia hanya bercanda. Tapi rasa penasaran mulai menyelimuti pikiran Randy. Apa benar yang dikatakan Irul? Randy mendekati Irul untuk memastikan informasi itu.



“Kamu tau dari mana?”

“Di papan pengumuman kampus udah ditempel kok,” jawab Irul datar sambil menggacungkan jari telunjuk ke arah kampus, meyakinkan.
“Benarkah?” Randy menoleh ke arah kampus yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari tempat berdiri saat ini. Ia ingin liat perubahan itu.


Mereka berdua diam beberapa saat.



Lima menit berlalu dalam suasana keheningan. Irul malah sibuk dengan androidnya. Randy pergi menyusuri jalan utama yang letaknya di antara masjid dan asrama santri Pondok Pesantren Al-Furqon. Pandangan mata Randy yang tajam tertuju pada sebuah papan berbentuk persegi panjang yang terpampang di dinding sebelah utara kampus yang letaknya persis di depan masjid. 



Tiba-tiba, Irul memanggil Randy. “Mau kemana, Ran?”



Randy tetap berjalan tak menjawab pertanyaan Irul. Beberapa mahasiswa terlihat sedang berkumpul di depan papan itu untuk mencari informasi tentang KKN. Rasa penasaran Randy semakin memuncak. Ingin rasanya melihat sendiri perubahan pembagian kelompok KKN itu.



Tak mau ketinggalan informasi dari mahasiswa yang lain, langkah kaki Randy semakin cepat ke kampus. Tepat di depan papan pengumuman, Randy mencari-cari informasi perubahan pembagian kelompok KKN dan tempat tugasnya.



Gue kira ada perubahan total seperti biasanya. Ternyata cuma perubahan Yulison dan Irul aja,” Randy berbicara dalam hati.

“Tuh kan kita satu kelompok. Gue, lo, Amru, Anisa, dan Wa Aulia. Kita di Sukabumi. Lo ketuanya,” Irul menepuk bahu Randy. Entah sejak kapan Irul ada di sana.


Randy berbalik, menoleh ke arah lelaki bertubuh mungil itu.



“Besok sore kelompok kita yang baru ini kumpul di kelas. Harus datang semua. KKN di bulan Ramadan ini harus dijadikan momentum perbaikan dan perubahan. Abis Ashar kita musyawarah,” Randy mendekatkan kepalanya di samping telinga Irul.

“Nanti gue kabari yang lain,” Irul membalas dengan tenang, meyakinkan.


Randy tersenyum.

“Jangan lupa. Sekarang persiapkan idemu. Biar besok tak menghabiskan waktu untuk memikirkan ide.”


Irul mengangguk.

Terdengar suara motor dari arah sebelah utara masjid, Amru menggunakan sebuah motor merk Honda GL Pro datang menghampiri kedua rekannya. Sedikit pamer kebolehannya, Amru menambah kecepatan laju motornya lalu rem mendadak. Berhenti tepat di samping Irul berdiri. Lantas bertanya penuh keheranan.


“Ada apa ini? Kok tumben lo berdua pada ngumpul di sini,” seru Amru.

Nggak apa-apa. Sedikit bahas soal kelompok yang baru,” Randy menjawab tenang, menoleh.
“Kelompok baru apa?” Amru nanya, penasaran.
“KKN,” Randy memperlihatkan informasi di papan pengumuman.
“Apa lo bilang! Kelompok KKN! Dirubah lagi? Rektor ini sukanya bikin pening mahasiswa. Terlalu idealis keputusan-keputusannya itu,” Amru cukup terkejut dan kesal mendengar jawaban Randy.
“Iya. Tapi nggak dirubah total. Hanya perubahan Irul dan Yulison. Irul pindah ke kelompok kita. Sementara Yulison pindah ke tim Solo,” Randy mencoba menenangkan dengan menepuk pundaknya.
“Tetap saja!! Harus dijelasin alasannya,” Amru kini benar-benar terlihat emosi, nada mulai meninggi.
“Slow. Gue yang jadi ketua aja santai,” Randy masih mencoba menenangkan Amru.
“Lagi pula, Am,” Irul di sebelah Randy akhirnya ikut bicarasetelah sejak tadi asyik menonton mereka berdua berdebat, “kalau lo emang gak setuju dengan keputusan rektor, kenapa gak lo coba aja ngobrol sama rektor dengan baik? Lo jelas bisa melakukannya, kan?”
“Yaudah, lo aja yang temui rektor minta penjelasan,” wajah Amru masih terlihat kesal namun kali ini dia mengalah.
“Itu pasti. Doain semoga sukses,” Randy cukup semangat.
“Apa yang akan lo bilang kepada rektor nanti, Ran?” Irul menoleh ke arah Randy.
Randy menggeleng. “Tidak tahu.”
“Bagaimana nanti kalau pertemuan dengan rektor justru membuat kegaduhan?” Irul ngeluh.
“Kita hanya minta penjelasan. Gak perlu cemas soal itu. Kita bisa atasi kalau kita tetap sama-sama.”
Lo urus persiapan peralatan sama perlengkapan kita aja,” Amru menunjuk Irul.
“Nanti kita bahas lagi pas musyawarah. Gue persiapin dulu untuk bahan ketemu rektor nanti.”
“Ok. Cari informasi sedetail mungkin, Ran.”
“Iya emang harus gitu, Am. Kalau nggak gitu, gimana mau melangkah ke depan coba.”
Gue suka gaya lo.”
“Jangan suka plagiat gaya orang. Nggak baik, lho.”
“Suka gaya orang lain bukan berarti plagiat kan?”
“Boleh aja kalau plagiat, asal...”
“Asal apa?”
“Asal ada amplopnya.”
“Ah yang di kepala lo cuma amplop doang,” Amru tertawa cukup lebar hingga beberapa giginya terlihat. “Eh, percaya nggak? Cuma gara-gara plagiat, kita bisa dihukum masyarakat.”
“Gue sih nggak percaya.”
Randy nampak santai.
“Kenapa?”
“Udah lah gak usah ngomongin plagiat. Hidup ini terlalu indah untuk mencopy kehidupan orang lain. Jadilah diri sendiri. Terkadang kita memang suka merendah dengan keadaan kita di hadapan orang lain. Tapi itu bukan alasan untuk melakukan plagiarisme. Kita harus percaya dengan diri kita. Kita ditakdirkan hidup sebagai pemenang bukan pecundang. Itulah kenapa kita ada saat ini sekarang...”
“Betul, Ran. Dan orang yang gak percaya dengan dirinya sendiri, maka dia nggak bisa jadi orang sukses. Gue yakin itu,” Amru nimpalin.
Irul yang dari tadi cuma bengong, nampak ingin mengeluarkan sepatah dua patah kata.
“Kalau mau ngomong, udah ngomong aja. Jangan kaya orang bisu gitu. Pakai isyarat segala,” Amru menatap tajam ke arah Irul.
“Iya. Maksud gue, gue cuma mau ngingetin aja. Keasyikan bahas plagiarisme tapi lupa ketemu rektor. Inget, setiap bentuk kesuksesan itu terselip usaha dan persiapan yang matang. Setiap usaha dan persiapan yang matang itu perlu waktu, nggak tiba-tiba muncul.”
“Sekarang rada cerdas apa ya si Irul,” Amru terkekeh.
“Owh iya. Gara-gara ngomongin plagiarisme, gue jadi lupa apa yang mau diomongin sama rektor.”
“Nah loh...”


Sebelum malam tiba, Randy memang sudah berniat bertemu perwakilan kampus untuk mengambil surat tugas KKN dan memastikan kembali informasi perubahan pembagian kelompok.



Padahal sebentar lagi sudah hari H. Kenapa dirubah lagi?” bisik Randy dalam hati mempertanyakan keputusan itu tanpa mengerti alasannya.



Di antara mereka bertiga, Amru adalah sosok yang paling paham karakter rektor maupun Pak Rudini. Randy memang tak begitu paham sosok rektor seperti Amru, tapi Randy seperti biasanya nampak yakin setiap keputusan yang diambil rektor adalah untuk kebaikan mahasiswanya. Sepertinya tidak untuk kali ini. Randy tidak begitu yakin dengan keputusannya.



“Sebetulnya kebijakan rektor itu bagus. Tapi terkadang selalu maksa kehendak. Ini yang kurang disenangi mahasiswa,” Randy berbicara pelan.

“Iya idealis banget orangnya,” Amru memperjelas maksud Randy.
“Ngomong-ngomong...” Belum selesai Randy bicara, Amru sudah memotong pembicaraan.
“Eh... Gue duluan ya!”
“Baru mau ngomong. Udah main kabur aja lo demit...”
“Ada urusan penting.”


Amru berlalu pergi menggunakan motor kesayangannya.



Lo nanti temenin gue ketemu rektor,” Randy berteriak.

“Ogah... sama Anisa aja.”
“Harus lo yang nemenin. Kan lo yang paling ngerti tentang rektor.”


Randy dan Irul tertawa. Amru tak menggubris, ia semakin jauh meninggalkan kedua rekannya itu yang tengah santai duduk di bangku panjang depan kampus.



Setelah Amru pergi, Randy dan Irul kembali membahas sedikit persoalankhususnya tentang keputusan rektor yang sering berubah. Padahal, tak jarang setiap Randy bertemu rektor menanyakan ihwal keputusan sebelum-sebelumnya.

***
Beberapa waktu lalu, tepatnya lima hari menjelang keberangkatan, Randy sempat membicarakan banyak hal dengan rektor terkait kejelasan program KKN selama Ramadan di Maktab Aam[1]. Saat itu, rektor banyak mengisahkan perjalanan hidupnya. Khususnya yang menyangkut persoalan mahasiswa.

Rektor bilang, suatu pekerjaan akan jauh lebih mudah diamalkan jika dibarengi niat yang ikhlas karena Allah meskipun tanpa modal. Randy awalnya tak paham maksud rektor, tapi ia memutuskan tak banyak tanya. Meski begitu, nasehat rektor terus membanyangi pikiran Randy.


Malam ini, tepat dua hari sebelum berangkat, Randy dan Anisa menemui rektor di tempat yang sama seperti sebelumnya untuk meminta penjelasan soal keputusannya merubah ulang kelompok KKN. Selain itu, banyak pula hal-hal yang ingin sekalian ditanyakan langsung ke rektor. Seperti kejelasan persiapan tempat di mana mahasiswa akan ditugaskan. Solo, Garut, dan Sukabumi.



“Kenapa kelompok dirubah lagi, ustadz?” Randy membuka percakapan.



Rektor hanya tersenyum.

“Loh, kayak gitu kok ditanyain. Mahasiswa itu harus mampu survive ditempatkan di mana saja dan dengan siapa saja. Bukan malah menanyakan kenapa dipasangkan dengan si anu. Niatkan saja karena Allah. Randy ingat waktu ngobrol sama ustadz belum lama ini? Itu seharusnya jadi bahan renungan. Ustadz dulu sewaktu menjadi mahasiswa, zaman belum semaju sekarang. Tapi ustadz mampu melewati itu. Kuncinya yakin sama Allah,” rektor memulai penjelasannya.


Sejenak rektor mengambil hp, memperlihatkan foto-foto perkebunan kacang tanah hasil usahanya merintis bersama masyarakat di Puncak Bogor.

“Iya memang betul ustadz. Tapi kan tetap kita harus tau penjelasan ustadz soal perubahan itu. Biar kita bisa memetakan persiapan kita,” Randy memperjelas maksud kedatangannya.
“Kalian nggak yakin sama Allah?” rektor mengangguk pelan.
“Yakin ustadz.”
“Yaudah kalo yakin. Serahkan saja semua pada Allah. Nanti Allah yang menentukan dan mempersiapkan jalan untuk kita. Siapkan niat karena Allah saja untuk pergi KKN. Adanya program hanya membatasi mahasiswa bergerak nantinya. Justru ustadz sedang memberikan kemudahan untuk kalian berkreasi. Mahasiswa jangan terlalu idealis,” sekali lagi, rektor mengangguk, memberi nasehat.
“Masa KKN nggak ada program, ustadz?” Anisa mempertanyakan pandangan rektor.
“Kan tadi ustadz udah bilang, program hanya mengekang kegiatan kalian. Nggak ada program bukan berarti nggak ada kegiatan,” rektor kembali menjelaskan.


Randy yang sedari tadi duduk di depan rektor, diam membisu. Lagi-lagi mendapat nasehat yang sama seperti sebelumnya. Tidak berubah. Mungkin ada sedikit tambahan dari nasehatnya.



Nasehat dari rektor terus saja mengusik pikiran Anisa. Bagaimana mungkin melakukan kegiatan tanpa program? Niat karena Allah itu pasti. Tapi seharusnya tetap ada persiapan untuk itu. Mungkin rektor punya pandangan lain, atau keputusan lain.

Anisa mengerutu.


Akhirnya, Randy pamit hendak pulang ke rumah kontrakan dengan masih menyimpan sejuta pertanyaan yang Randy sendiri malas untuk mengungkapkan ke rektor. Paling-paling nanti yang keluar bukan jawaban yang diterima. Randy dan Anisa pulang ke rumah sekitar jam sebelas malam. Mereka berdua harus segera tidur, persiapan KKN belum selesai.



[1] Sebuah bangunan sederhana yang dijadikan sebagai pusat dakwah Al-Jamaah. Letaknya hanya beberapa meter saja sebelah utara Masjid Al-Furqon.

Senin, 07 Agustus 2017

Mahasiswa Langit (Prolog)

Oleh: Rendy Setiawan
SETIAP orang yang sudah memakan kerasnya bangku kuliah hingga memperoleh gelar kesarjanaan, pasti pernah merasakan pahit manisnya melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN). KKN atau kalau boleh dibilang sebagai kegiatan menyalurkan ilmu ke masyarakat sambil tamasya gratis, bukan hal yang asing bagi mahasiswa. Termasuk saya. Mungkin saya adalah satu di antara banyaknya mahasiswa yang merasakan indahnya KKN di bulan Ramadan.
Jika pernah membaca buku “On Heroes, Hero-Worship, And The Heroic in History” yang ditulis oleh seorang orientalis bernama Thomas Carlyle, di situ kita akan menemukan bahwa Muhammad SAW, tokoh kebanggaan umat Islam adalah sosok manusia terbaik yang pernah tinggal di bumi. Bahkan top ranking ala Carlyle yang dicapai oleh Muhammad SAW mampu menjungkalkan tokoh sekaliber Napoleon Bonaparte dari Perancis dari posisi teratas.
...Para pakar bersepakat, tentunya dengan berbagai tolok ukur untuk mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai manusia teragung dalam sejarah hidup manusia...
Demikianlah kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya dengan menggunakan tolok ukur kepahlawanan.
Pernah melihat seseorang beradu otot hanya karena membandingkan dua tokoh sensasional dunia sepak bola. Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Dua manusia satu zaman ini memang memiliki keunggulan masing-masing pada seni olah bola dan kerap dibanding-bandingkan.
Atau pernah menyaksikan secara langsung bagaimana orang-orang beradu argumen mengenai siapakah presiden Indonesia terbaik sepanjang zaman. Orang yang hidup era Soeharto berkuasa, mayoritas akan setuju bahwa mantan jenderal itu sebagai salah satu yang terbaik. Atau mereka yang hidup di zaman Presiden Jokowi, mayoritas akan memuja mantan walikota Solo itu.
Atau pernah mendengar sendiri orang-orang saling hina hanya untuk merebutkan siapa posisi terbaik dalam gelaran balapan Moto GP. Jika dilihat dari jumlah tropi, kita semua sepakat bahwa Valentino Rossi adalah yang terbaik untuk urusan ini. Tetapi jika dilihat dari klasemen sementara 2017 awal bulan Mei, maka kita semua akan tertuju pada satu nama Maverick Vinales, seorang Movistar Yamaha yang berhasil duduk di urutan teratas.
Pertanyaannya sederhana. Mengapa itu semua bisa terjadi? Maka untuk menjawabannya pun sederhana. Setiap orang menganggap bahwa apa yang dilihat dan apa yang didengar adalah suatu kebenaran dan itu benar menurut nalar masing-masing, sehingga mayoritas akan dengan mudah menyalahkan orang lain tanpa dasar yang dibenarkan. Begitu juga sebaliknya.
Ada ungkapan menarik dari seorang Uchiha Itachi, salah satu tokoh fiksi serial “Naruto”. Mungkin tidak semua orang setuju. Tapi perlu disimak. “It’s not wise to judge others based on your own preconceptions and by their apperances” (Tidaklah adil menilai seseorang dari sudut pandangmu sendiri dan dari penampilan orang tersebut).
Semua itu berawal dari alam pikiran.
Seseorang berpikir bahwa apa yang dipilih berdasarkan nalarnya tanpa memperhitungkan orang lain akan membawa ketenangan jiwa, tapi sebenarnya hanya membawa kesenangan sesaat. Seseorang berpikir bahwa dengan menjungkalkan orang lain dari pijakannya, maka impiannya telah terwujud.
Catatlah di buku harian masing-masing bahwa sebuah impian hebat yang menjadi kenyataan tidak diraih dengan cara seperti itu!!
Sebuah impian terasa akan sangat dahsyat apabila berhasil diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata melalui cara yang dibenarkan. Tak sembarang orang bisa melakukannya. Jika negara-negara Eropa berpikir bahwa untuk mewujudkan impian itu dengan invasi atau membuat koloni di luar benuanya, maka Islam menggunakan “dakwah” sebagai ujung tombaknya.
Dakwah bisa dibilang sebagai salah satu bagian terpenting dalam tubuh perjuangan Islam. Ketika kita tidak mampu menjelaskan apa itu Islam, maka akan muncul istilah “Islam adalah teroris.” Padahal? It’s not true... Bahkan sesama muslim saling hantam, enggan merajut tali ukhuwah. Inilah yang disebut kegagalan dalam dakwah.
Sebagai muslim tentu tidak ingin ini terjadi. Yang menarik di sini, bukan benar atau salah. Bukan seberapa banyak kita melakukan kebaikan. Tapi bagaimana mampu memahami dan mengajarkan apa itu Islam. Tidak akan lagi berdebat siapa yang paling hebat, siapa yang paling kuat, dan siapa yang paling benar.
Kisah ini bercerita tentang perjalanan dakwah, kebersamaan, perjuangan, persahabatan, keyakinan dan mudah-mudahan bukan sekedar menapaki satu kotak bumi kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa mau merawatnya. Sejarah sudah mencatat bahwa ratusan bahkan ribuan tahun lamanya, Islam tumbuh dan berkembang di Jazirah Arab sampai saat ini. Awal kemunculan Islam pun tidak mudah dilalui. Semasa Rasulullah masih hidup, banyak perjuangan dan pengorbanan yang justru dilakukan di Bulan Ramadan.
Perjuangan ini memberikan contoh bahwa usaha dan doa, utamanya di Bulan Ramadan, mampu memberikan semangat ruh perjuangan di dalam tubuh kaum muslimin.
Hal ini mirip dengan apa yang digambarkan oleh Dony Dhirgantoro bahwa seseorang akan mengalami suatu keadaan, kenangan, dan orang-orang tertentu yang pernah singgah dalam hati kita dan meninggalkan jejak langkah di hati kita dan kita pun tidak akan pernah sama lagi seperti sebelumnya.
***
Cerita ini berawal dari salah satu kampus ternama di Cileungsi, STAI Al-Furqon yang terletak di ujung kota, mengutus lima mahasiswanya melakukan kegiatan KKN. Awalnya tak ada yang aneh dari mulai awal perjalannya hingga sampai di salah satu kampung tempat KKN. Namun lima mahasiswa beda watak dan karakter yang ditugaskan untuk menyelesaikan KKN di Sukabumi itu pada akhirnya belum mampu mengubah semuanya karena harus berurusan dengan adat istiadat setempat yang terkenal cukup terdengar aneh.
Lima mahasiswa itu Randy Darmawan (Randy), Amrullah (Amru), Khoirul (Irul), Anisa Fitriyani (Anisa), dan Wa Aulia (Au).
Randy Darmawan, dia adalah ketua Tim KKN Sukabumi. Postur tubuhnya paling besar dan tinggi di antara keempat temannya. Randy paling suka nonton Arsenal tanding. Tim klasik yang udah 13 tahun tanpa gelar juara Premier League. Bisa dibilang, penggemar Five Minutes ini adalah fans Arsenal di permulaan abad ke 21. Kebiasaannya kalau lagi sendiri suka ndengerin musik, nyanyi sendiri. Kadang malah suka loncat-loncat niru gaya Giring Nidji pas lagi nyanyi.
Salah satu kegemarannya adalah main PES (Pro Evolution Soccer). Game primadona anak muda jaman sekarang.
Randy paling jago soal sejarah. Kalau lagi ngomong sama Randy tentang sejarah, mending diem aja. Nggak akan menang, yang ada omongan lo bisa diedit sama Randy. Maklum, Randy kerjanya selain kuliah, ya nyari berita. Iya, Randy kerja jadi wartawan.
Randy juga paling suka nonton Naruto. Paling bisa diajak ngobrol apa aja, yang penting jangan ngomongin mesin sama itung-itungan. Randy paling males pas udah nomongin dua makhluk yang namanya mesin sama matematika.
Walaupun posturnya paling bongsor, tapi usianya bukan yang paling tua.
Amru Amrullah, paling suka film Naruto. Tiap hari Rabu pasti udah natap layar hp nunggu film Naruto –sekarang ganti jadi Boruto The Next Generation– dirilis. Beda sama Randy, Amru badannya nggak terlalu tinggi, tapi cukup buat ninju pohon pisang sampai guling-guling.
Badannya sih boleh kekar, tapi hatinya hello kity. Pas karakter favoritnya di Naruto mati, yaitu Itachi Uchiha, dibunuh sama adeknya sendiri, Sasuke Uchiha, laki-laki berambut mowhak itu kesal sama Masashi Kisimoto –pengarang komik Naruto–. Kan nggak lucu marah sama pembuatnya.
Kalau kerjanya Randy selain kuliah itu nulis, sementara Amru kerjanya jadi anggota Tim SAR. Amru beberapa kali diikutsertakan dalam berbagai bencana di Indonesia. Amru ini usianya paling tua, cukup disegani sama rekan-rekannya.
Khoirul Irul, panggilannya Irul. Tubuhnya nggak jauh beda kaya Amru, tapi lebih berisian Amru. Irul bisa dibilang idola para gadis. Iya beberapa gadis SMA pada ndeketin Irul sekedar kenalan, kenal lebih jauh, atau saling memahami satu sama lain. Wajahnya sih biasa aja, tapi ada magis tersendiri yang tersimpan di dalam jiwanya.
Salah satu kebiasaan Irul yang paling mudah diingat teman-temannya adalah suka gonta-ganti handphone atau disingkat hp. Katanya sih biar paham spesifikasinya. Selain doyan gonta-ganti hp, ada satu kesamaan Irul sama Randy, yaitu sama-sama suka bola. Bedanya, Irul suka main PES sama main futsall tapi nggak suka nonton bola. Sementara Randy, suka main PES sama suka nonton bola tapi nggak terlalu suka main futsall.
Kalau udah ngomongin PES, Irul sama Randy bisa ribut sampai dunia bergoyang saking ramenya lempar-lemparan bantal. Kesibukan Irul selain kuliah itu jadi asisten orang-orang penting. Pokoknya itu kesibukan dia, jangan nanya ngapain aja kerjaannya.
Anisa Fitriyani, panggilannya Anisa. Kegemarannya nonton drama India. Kalau mau nanya soal film bergenre melankolis, nanyanya ke Anisa, jangan ke yang lain.
Salah satu yang paling mudah diingat dari Anisa adalah postur tubuhnya yang mungil, tapi jilbabnya gede. Kebiasannya selain nonton film, ya baca novel. Bicara soal nilai akademik, Anisa cukup bisa diandalkan. Apalagi kebiasaannya suka ngomong ngalor-ngidul, siapa aja bisa diajak ngobrol sampai berjam-jam.
Di antara mereka berlima, Anisa bisa dibilang mahasiswa paling istiqomah soal nilai akademik. Dekat dengan dosen, juga paling rajin pas ada tugas. Memiliki wajah nggak terlalu putih tapi manis sedikit oval, udah cukup membuat cowok melayang. Tapi jangan diganggu, udah ada yang punya soalnya.
Wa Aulia. Tinggalnya paling jauh di antara mereka berlima. Paling misterius, paling pendiem. Nggak terlalu banyak yang tau soal satu orang ini, jadi jangan ngarep ada cerita lebih banyak dari muslimah berjilbab lebar asal Maluku yang satu ini.
***
Meskipun berada pada satu kabupaten, namun lima mahasiswa satu angkatan ini ditempatkan di dua tempat berbeda.
Tiga laki-laki ditugaskan di kaki gunung Gede, sementara dua wanita dikurung di salah satu daerah di lembah Sukabumi. Dengan personil minim dan wilayah jangkauannya cukup luas. Kegiatan masih tetap bisa berjalan. Yah walaupun merangkak. Bagi yang pernah ngerasain KKN, pasti tau sendiri bagaimana nasib mereka.
Tapi itu bukan masalah. Yang terpenting adalah bisa mendeteksi bagaimana masyarakat sekitar menjalankan kehidupannya, utamanya dalam urusan agama. Lalu apa yang bisa mereka perbuat dan apa yang bisa mereka berikan. Selain KKN, itu jadi salah satu alasan mereka datang kemari...
Tujuan mereka sedikit berubah halauan ketika salah seorang tokoh di tempat KKN menceritakan tentang kondisi wilayah itu. Orang-orang memanggilnya Apih. Apih bercerita bahwa di tempat itu setiap waktu adzan tiba, hanya mendengar suara adzan dari Masjid Al-Furqon Sukabumi. Masyarakat di sini, khususnya yang muslim, mayoritas aspek. Muslimahnya menurut adat di sini, haram datang ke masjid. Itu aib. Ini menjadi tantangan bagi kelompok Randy untuk menyelidiki lebih jauh.
Dua tahun lalu, ketika Apih baru datang kemari, masyarakat setempat menganggapnya orang Persis, Wahabi dan julukan semisalnya. Membawa ajaran baru yang menurut mereka berbeda dari apa yang selama ini mereka pahami. Pemuda di sini juga seperti itu. Mereka jauh dari masjid. Setiap bertemu mereka, Apih bilang sering untuk mengajak mereka. Tapi jawaban mereka selalu diiringi penolakan.
Pada kesempatan yang lain, ketika Hj. Wiwin, pemilik rumah yang mereka tempatin ngadain acara. Banyak masyarakat sekitar yang datang. Sampai penuh masjidnya. Acara itu diselenggarakan hingga waktu adzan Maghrib tiba. Bukannya mereka sholat dulu, malah mereka langsung pulang ke rumah masing-masing. Termasuk Ketua RT nya.
Dari cerita-cerita yang beredar itu, Randy, Amru dan Irul berinisiatif membongkar kebiasaan yang sedikit ‘berbeda’ dari kebiasaan masyarakat umumnya.
“Ini sekedar berbagi pengalaman. Bukan bermaksud membuka aib orang. Biar kalian ngerti seperti inilah kondisi kampung ini.”